Rabu, 22 April 2009

Ada Celah Hukum, Tambang di Bawah Hutan Lindung Diizinkan

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah segera menerbitkan peraturan presiden yang mengizinkan pertambangan bawah tanah di hutan lindung. Persentase luas wilayah pertambangan akan mengacu pada luas wilayah hutan secara keseluruhan, bukan hanya hutan lindungnya.Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Setiawan mengemukakan hal tersebut seusai pertemuan dengan komunitas energi dan pertambangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Senin (20/4) malam.

Latar belakang keluarnya aturan tersebut, menurut Bambang, untuk memberi payung hukum atas penambangan bawah tanah di hutan lindung.”Di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1990 dinyatakan bahwa penambangan terbuka tidak boleh dilakukan di hutan lindung, tetapi tidak pernah disebutkan kalau tambang bawah tanah tidak boleh,” ujarnya.Di Sekretaris KabinetMenurut dia, rancangan perpres itu sudah ada di Sekretaris Kabinet. Rancangan perpres pertambangan bawah tanah sempat dikembalikan ke departemen teknis untuk diperbaiki terkait luas wilayah pertambangan. Semula luas wilayah pertambangan bawah tanah mengacu pada perbandingan luas wilayah hutan lindung.

Akan tetapi, karena dinilai luasannya terlalu sempit, dilakukan pembahasan ulang. Akhirnya diputuskan luas wilayah pertambangan bawah tanah akan mengacu pada luas wilayah hutan keseluruhan, bukan hanya hutan lindung.

”Ini lebih baik karena wilayah tambang jadi lebih luas. Ada persentase maksimalnya, tetapi saya tidak ingat persisnya,” ujar Bambang.

Secara terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa biaya pertambangan bawah tanah yang tinggi harus diimbangi dengan potensi cadangan yang tinggi pula. Ia mencontohkan potensi cadangan batu bara yang tinggi ada di wilayah hutan lindung daerah Kalimantan Timur.

Mengganggu kelestarian

Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas audit laporan keuangan pemerintah pusat semester II tahun 2008, pemberian konsesi di wilayah hutan lindung menjadi salah satu pengganggu kelestarian sumber daya alam.

BPK mencatat, Menteri ESDM memberi konsesi lahan kepada tiga kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan satu pemegang kuasa pertambangan (KP) seluas 238.962 hektar yang sebagian wilayah konsesinya seluas 98.548 hektar (ha) berada di dalam kawasan Taman Nasional Kutai (TNK), sedangkan 130 ha lainnya berada di hutan lindung wilayah Kabupaten Kutai Timur.

Selain itu, 16 bupati di Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan memberikan konsesi lahan kepada 326 pemegang KP seluas 1,757 juta ha. Sekitar 1,2 juta ha berada di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Logis tak terpakai

Pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo, mempertanyakan pertimbangan teknis kebijakan tersebut. Secara hukum positif, apalagi didasarkan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan tidak ada yang keliru dengan usulan tersebut.

Akan tetapi, persoalan di lapangan terkait pengelolaan kawasan hutan, tata ruang wilayah, dan dampak yang ditimbulkannya sudah jelas. Bencana berkelanjutan di banyak daerah membutuhkan kebijakan perlindungan hutan.

”Usulan itu logis, tetapi tidak terpakai di lapangan. Tidak terkait dengan kondisi lapangan dan apa yang semestinya dikerjakan,” kata mantan Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional itu.

Rencana perpres itu, lanjutnya, berbanding terbalik dengan semangat beberapa daerah di Kalimantan yang ingin memperbaiki tata ruangnya. Rencana itu dinilai tidak berangkat dari persoalan sebenarnya. (DOT/GSA)

1 komentar: