Jumat, 20 Juli 2012

Eksploitasi Mineral dan Batubara Terancam Dihentikan

Pada tiga tahun terakhir ini, sejak UU No. 4 Tahun 2009 dikeluarkan, pengusaha pertambangan melakukan ekpor bijih mineral secara besar-besaran sehingga terjadi peningkatan ekspor sebanyak 800% pada bijih nikel, 700% pada bijih besi, 1100% pada tembaga dan 500% pada bijih bauksit.  Karena pada peraturan tersebut, pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengelolahan bijih dan batubara sebelum melakukan ekspor yang direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2014 sehingga mereka berpikir bahwa mendirikan pabrik pengelolahan sangat susah dan biaya ekspor lebih murah.


Menanggapi hal itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM (Permen) No. 7 Tahun 2012 yang kemudian disempurnakan menjadi Permen No. 11 Tahun 2012. Pada permen ini berintikan bahwa pemegang IUP dan IUPK dilarang keras untuk melakukan ekspor bijih mineral dalam waktu 3 bulan sejak peraturan ini dikeluarkan (dikeluarkan pada bulan februari). Dengan adanya kebijakan tersebut, para pengusaha pertambangan kebingungan karena mereka harus membangun pabrik pengelolahan (smelter) sendiri atau setidaknya menitipkan barang tambang mereka kepada pengusaha lain.


Selain kebijakan pada pembatasan ekspor dan kenaikan bea ekspor, para pengusaha pertambangan juga diwajibkan menaati peraturan-peraturan seperti di bawah ini agar dapat melakukan ekspor barang tambang mereka, yaitu sebagai berikut:
1. Terdaftar pada kementerian perdagangan (sebagai eskportir);
2. Harus clean and clear, lokasi pertambangan harus bagus dan tidak tumpang tindih, serta menandatangani pakta integritas;
3. Rencana riil pengolahan tambang, pembangunan smelterdi tahun 2014;
4. Hanya bisa mengekspor setelah membayar royalti dan bea keluar;
5. Pengenaan bea keluar sesuai peraturan pemerintah;
6. Kuota ekspor mineral dan jangka waktu.


Kebijakan tersebut bisa saja berdampak buruk pada industri pertambangan kedepannya karena akan banyak perusahaan tambang yang akan tutup terlebih lagi pada perusahaan kecil dan menengah. Begitu juga pada perusahaan besar, mereka akan lebih memilih menutup tambangnya dibandingkan harus mengeluarkan dana untuk pembangunan smelter guna mengamankan kondisi keuangan mereka. Akibatnya banyak tenaga kerja yang di PHK dan APBD daerah tersebut akan berkurang.


Tidak lama ini, Jepang menggugat pemerintah Indonesia karena diberlakukannya kebijakan tersebut melalui World Trade Organization. Kebijakan ini pula yang mengakibatkan harga mineral menjadi mahal dan menghambat pengelolahan bijih di Jepang karena Jepang mengimpor bijih mineral sebagian besar dari Indonesia. 


Dari kebijakan ini pula, ada keuntungan tersendiri yang akan diperoleh Indonesia. Dengan adanya penambahan nilai mineral tersebut, tentu saja saja Indonesia akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Contohnya saja adalah harga nikel mentah 2,2 dollar AS perkilogram atau 2000 dollar AS perton dan akan meningkat 17000 dollar AS perton setelah menjadi ferronikel. Jauh lebih mahal ketimbang Indonesia menjual mineral yang belum diolah. Selain itu, terjadi juga peningkatan dalam jumlah dan kualitas tenaga kerja jika pabrik pengelolahan atau smelter benar-benar terealisasikan.


Kebijakan tersebut harusnya dikeluarkan sejak dulu dan kita harus belajar dari negara lain yang telah menerapkan kebijakan tersebut. Salah satu contohnya adalah Filipina pada saat dipimpin oleh presiden Benigno Aquino yang menetapkan kebijakan pada pembatasan produksi alumina, peningkatan pengelolahan bijih di Hilir dan pelarangan ekspor, serta tidak adanya tax holiday pada industri pertambangan.


Pada tahun 2014 nanti, kegiatan eksplorasi bijih mineral dan batubara akan dihentikan sementara waktu guna melakukan pembatasan produksi bijih mineral dan batubara. Dan apabila di tahun 2014 nanti belum banyak pabrik smelter yang didirikan, maka ada kemungkinan pemerintah akan memberhentikan kegiatan industri pertambangan sampai adanya pabrik-pabrik smelter yang mampu menunjang pengelolahan bijih di dalam negeri. Solusinya adalah : pemerintah memberikan kemudahan kepada pengusaha pertambangan untuk membangun smelter; adanya kerja sama antar pengusaha tambang kecil dan menengah untuk membangun smelter bagi mereka yang kekurangan modal; perlu mengkaji ulang kebijakan divestasi tambang; dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.


Tulisan di atas merupakan hasil diskusi dari HMT-ITB.
Kontributor: Divisi Keprofesian