Minggu, 05 Agustus 2012

Menyoal Permen ESDM No 7 tahun 2012

"Cabang­-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Ayat 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945)

Akhir-akhir ini dunia pertambangan Indonesia kembali menjadi isu hangat yang ramai diperbincangkan, terbitnya Peraturan Menteri (Permen) No 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Februari 2012 lalu menjadi penyebabnya. Permen yang merupakan pelengkap UU no 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) ini diterbitkan karena pelaksanaan UU Minerba dianggap belum maksimal, terutama terkait pengolahan dan pemurnian bijih mineral mentah (raw material) sebelum diekspor. Berdasarkan UU Minerba maka paling lambat 12 Januari 2014 bijih mineral (raw material) harus diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Namun, setelah 3 tahun diterbitkannya UU Minerba, tidak ada perkembangan signifikan terkait pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang mentah, malah terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap beberapa komoditi tambang.  Menteri ESDM, Jero Wacik, mengatakan dalam tiga tahun terakhir setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan, ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%.


Dalam Permen No 7 tahun 2012, ada 2 hal pokok yang menjadi penekanan, yang pertama adalah Pemegang Ijin Operasi Pertambangan Operasi Produksi atau Pemegang Ijin Usaha Pertambangan sejak 7 Mei 2012 diwajibkan untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian bijih mineral mentah (raw material) tambang sebelum diekspor ke Luar Negeri. Yang kedua adalah jika tidak ingin melakukan pengolahan dan pemurnian bijih mentah tambang tersebut dan ingin langsung mengekspornya, maka diwajibkan membayar Bea Cukai sebesar 20%.


Jika melihat kondisi ternyata Pemegang IUP dan IUPK yang tidak sanggup melakukan pengelolaan dan pemurnian sendiri, maka sesuai pasal 7 ayat 3 PERMEN No. 7 tahun 2012, IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat dilakukan secara langsung atau melalui kerjasama dengan pemegang IUP Operasi Produksi Lainnya dan/atau IUPK Operasi Produksi lainnya, dan/atau pemegang IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.
Selain itu, berdasarkan Permen ini, terdapat 5 syarat lain yang harus dipenuhi perusahaan tambang jika ingin mengekspor bijih mineral, kelima syarat itu adalah :

Pertama, Perusahaan itu harus dapat sertifikat clean dan clear dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM.

Kedua, Perusahaan harus melunasi kewajiban pajak dan non-pajak.

Ketiga, perusahaan tersebut harus menyampaikan rencana mengenai pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Empat, perusahaan juga harus menandatangani pakta integritas untuk menjaga lingkungan dan berjanji tahun 2014
berhenti ekspor bahan mineral mentah. 

Kelima, sesuai pokok dari Permen No 7 tahun 2012, akan dikenakan bea keluar dengan ketentuan pemerintah, jumlahnya rata-rata 20 persen.



Pembangunan Smelter

Dengan terbitnya UU No 4 tahun 2009 sebagai pelengkap UU Minerba, maka mau tak mau perusahaan tambang harus membuat plan untuk membangun mesin pengelolaan dan pemurnian bijih mineral (smelter) paling lambat tahun 2014.
Berdasarkan analisis sejumlah teknologi yang telah diterapkan di Indonesia, biaya investasi untuk pembangunan smelter diperkirakan sebesar US$ 500 juta. Jelas angka tersebut bukanlah modal sedikit bagi investor yang tergolong ‘pemain baru’ di dunia pertambangan. Apalagi modal yang ditanamkan belum tentu kembali dalam jangka waktu 10 tahun. Tak heran untuk nikel, selama ini yang diolah di dalam negeri adalah yang berkadar tinggi (diatas 2%). Karena untuk mengolah nikel low grade dianggap tidak cukup ekonomis. (majalahtambang.com)

Selain itu, tantang yang dihadapi dalam pembangunan smelter adalah bagaimana pasokan listrik untuk operasi smelter dapat tersedia. Karena dibutuhkan tenaga listrik yang sangat besar dalam pengoperasian smelter.


Melihat lebih dalam

Jika Melihat dalam jangka pendek, jelas sekali terlihat bahwa terbitnya permen No 7 tahun 2012 membawa dampak yang buruk bagi perekonomian Indonesia, karena buakn tidak mungkin gulung tikar menjadi dampak yang akan menimpa perusahaan karena minimnya keuangan perusahaan untuk membangun smelter, belum lagi besarnya pasokan listrik yang dibutuhkan untuk pengoperasian belum dapat dipastikan ketersediaannya. Jika harus membayar bea cukai 20% pun, perusahaan akan mengalami cash flow yang tidak sehat. Bahkan dalam sebuah wawancara dengan salah satu surat kabar nasional Kepala Asosiasi Pengusaha Tambang Mineral Indonesia (Apemindo) Poltak Sitanggang memprediksi akan muncul 3 juta penganguran baru akibat diterbitkannya Permen ESDM ini.

Namun, Jika melihat dari perspektif jangka panjang, peraturan ini jelas merupakan salah satu jalan untuk menuju Kemandirian Energi Indonesia. Karena selain menjamin ketersediaan bahan baku industri pengelolaan dan pemurnian mineral dalam negeri, menjaga kelestarian sumber daya alam, Permen ini juga sangat berguna untuk peningkatan (upgrading) kemampuan SDM Indonesia dalam industri pertambangan, utamanya dalam pengelolaan mineral bijih.
Hampir bertahun-tahun Indonesia mengekspor bijih mineral tanpa melakukan penambahan nilai (added value), sehingga nilai jual dan pendapatan Indonesia sangatlah rendah, adanya Permen ESDM ini jelas akan membantu pendapatan dalam negeri, karena pengelolaan bijih mineral tersebuit harus dilakukan didalam negeri. Bahkan menteri keuangan, Agus Martowardojo memprediksi, potensi penerimaan Indonesia dari Bea keluar yang diterapkan diperkirakan sebesar Rp14,7 triliun – Rp18,4 triliun atau sekitar US$1,6 miliar – US$2 miliar per tahun.

Bukankah ini angka yang fantastis ? Maka sudah seharusnya kita menanggapi dengan bijak diterbitkannya Permen No. 7 tahun 2012 ini, niatan untuk melakukan hilirisasi tambang Indonesia harus dilihat dengan perspektif jangka panjang. Karena dengan terobosan-terobosan seperti inilah cita-cita Kemandirian Energi Indonesia dapat dicapai.


*Tulisan ini dibuat oleh Denny Reza Kamarullah (HMT 2010) dan dimuat dalam Tabloid Inspirasi Volume 3 edisi Juli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar