Sabtu, 23 Februari 2013

Nasionalisasi Migas ala Bolivia

(Tulisan ini di ambil dari  http://lib.geologi.ugm.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=93:nasionalisasi-migas-ala-bolivia-&catid=1:latest-news )

Kita tidak perlu galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan Venezuela menghadapi koporasi asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan komitmen kebangsaan. Mereka adalah mitra, bukan majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus lebih visioner, lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama jadi bangsa miskin di tengah sumber daya alam melimpah.

***
Evo Morales (46) memenangi pemilihan presiden atau pilpres Bolivia pada Desember 2005 dan dilantik Januari 2006. Ia adalah penduduk asli Bolivia dari suku Indian Aymara, yang dalam kampanyenya menekankan perlunya pemilikan kembali rakyat Bolivia atas sumber daya alam, khususnya hydrocarbon (migas) yang selama itu dikuasai korporasi asing.

Cadangan gas alam Bolivia ditaksir lebih dari 50 triliun kaki kubik dengan nilai lebih dari 70 miliar dollar AS, sementara penduduknya sekitar sembilan juta.belum lagi kekayaan alam seperti minyak, barang-barang mineral, dan kekayaan hutan. Morales menyatakan dirinya tidak gila jika bercita-cita memakmurkan rakyat Bolivia sejajar rakyat Swedia.

Selama berkampanye, Morales berjanji sumber daya alam tidak dapat diprivatisasi, tidak boleh dikuasai korporasi asing, dan harus dilakukan renegosiasi (negosiasi ulang) atas seluruh kontrak karya pertambangan. Evo juga setuju bila perlu melakukan nasionalisasi tanpa konfiskasi, nasioanalisasi tanpa ekspropriasi, alias negosiasi tanpa perampokan. Dengan kata lain, akan ada kompensasi (ganti rugi) terhadap korporasi asing bila Bolivia terpaksa melakukan nasionalisasi.

Di Bolivia ada 20-an korporasi asing bergerak di pertambangan migas, antara lain Repsol YPF (Spanyol), Petrobras (Brasil), Total (Perancis), Exxon (Amerika), British Gas (Inggris), dan Royal Dutch Shell (Belanda).

Mereka mencoba menakut-nakuti Morales dengan gertak sambal. Katanya, Bolivia dapat dibawa ke arbitrase internasional dan rugi miliaran dollar AS karena berani mengotak-atik, bahkan menuntut negosiasi ulang berbagai kontrak karya dan bagi hasil yang telah ditandatangani.

Akan tetapi, Morales bukan Si Peragu seperti dua presiden sebelumnya, Gonzalo Sanches de Lozada dan Carlos Mesa yang diusir rakyatnya karena menempatkan diri sebagai pembela kepentingan korporasi asing, bukan kepentingan rakyat Bilivia.

Morales membangun axis of good atau poros kebaikan terdiri dari Bolivia, Venezuela, dan Kuba, untuk menyindir axis of evil atau poros kejahatan yang kata George Bush terdiri dari Korea Utara, Iran, dan Irak. Dalam wawancaranya dengan Der Spiegel, Morales mengatakan, reserve moral yang ia miliki terdiri dari trilogy sederhana: jangan mencuri, jangan bohong, dan jangan malas (do not steal, do not lie, and do not be idle).

Korporasi asing tunduk

Setelah lima bulan menjadi Presiden Bolivia, Morales melaksanakan janjinya. Tanggal 1 Mei 2006 tentara Bolivia menduduki 56 ladang gas dan minyak  serta instalasi penyulingan di sekluruh negeri. Dekrit Presiden Nomor 28701 tentang nasionalisasi industri migas diterbitkan. Rakyat Bolivia lega, Presiden memenuhi janji.

Dalam dekrit itu, antara lain ditegaskan, cadangan minyak dan gas Bolivia dinasionalisasi, 51 persen saham pemerintah yang pernah diprivatisasi di lima perusahaan migas pada tahun 1990 diambil kembali; seluruh perusahaan migas asing harus menyetujui kontrak baru yang ditentukan Yaciementos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB), perusahaan negara milik Bolivia dalam tempo 180 hari; gabungan pajak dan royalty yang diserahkan perusahaan gas asing yang memproduksi lebih dari 100 juta kaki kubik dinaikkan menjadi 82 persen dari sebelumnya yang hanya 50 persen dan mula-mula hanya 30 persen; Pemerintah Bolivia melkukan audit investasi dan keuntungan semua perusahaan migas asing di Bolivia untuk menentukan pajak, jumlah royalty dan ketentuan operasi di masa depan; dan tak kalah penting, migas hanya boleh diekspor setelah kebutuhan domestic Bolivia dipenuhi. Jika tidak setuju isi dekrit, perusahaan asing itu dipersilahkan meninggalkan Bolivia.

Apa yang terjadi? Sehari sebelum tanggal, 29 Oktober 2006, semua korporasi besar yang beroperasi di Bolivia memilih tetap di Bolivia, tunduk kepada kemauan pemerintah, yang hakikatnya kemauan rakyat Bolivia.

Evo Morales, seperti Hugo Chavez, Presiden Venezuela sebelumnya, membuktikan kekeliruan brain washing, menuntut renegosiasi kontrak karya yang merugikan rakyat mustahil dilakukan bila sudah ditandatangani.

Keuntungan Bolivia

Chavez dan Morales mampu menerobos kendala mental, moral, politik, dan ekonomi yang sengaja dipasang berbagai korporasi asing. Menurut Morales, berkat negosiasi ulang, Bolivia meraup satu miliar dollar AS, dan empat miliar dollar AS per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Belum lagi jika renegosiasi kontrak nonmigas dan sumber-sumber non-renewable lain juga berhasil.

Mengingat jumlah rakyat Bolivia hanya seperduapuluhdua rakyat Indonesia, perolehan Bolivia seperti jika Indonesia mendapat 88 miliar dollar AS per tahun. Rakyat Bolivia tentu lebih bahagia dibandingkan rakyat Bangdades yang salah satu putra terbaiknya meraih Nobel Perdamaian. Dan tentu lebih berbahagia dibanding rakyat Indonesia yang diberi tahu para pemimpinnya bahwa kontrak karya migas dan nonmigas dengan korporasi asing tidak bisa diubah.

Mengapa? Katanya, jika menuntut negosiasi ulang, apalagi nasionalisasi industri migas dan pertambangan, Indonesia bisa dikucilkan masyarakat internasional. Katanya, investasi asing emoh masuk Indonesia. Selain itu, ada adagium pacta sunt servanda, sekali kontrak di tandatangani, perlu dihormati “kesuciannya”, meski menempatkan Indonesia for sale, dijual untuk umum. 

Kita tidak perlu galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan Venezuela menghadapi koporasi asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan komitmen kebangsaan. Kita dapat melindungi dan menomorsatukan kepentingan korporasi asing. Mereka adalah mitra, bukan majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus lebih visioner, lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama jadi bangsa miskin di tengah sumber daya alam melimpah.

Andaikata pemerintah, DPR, dan berbagai kekuatan masyarakat bersatu menjadikan koporasi pertambangan asing sebagai mitra, negeri ini tidak perlu menjadi bangsa musafir yang tiap tahun bingung mencari utang luar negeri baru. Sementara itu kekayaan sendiri disodorkan untuk penjarahan asing.

Jika direnungkan, Exxon dan Freeport Mc.Moran, misalnya keduanya bukan seperti a state above a state. Ingat, di Indonesia ada lusinan korporasi asing yang terus menyedot kekayaan migas dan non migas bangsa Indonesia. Sampai Sekarang.()

Makalah disampaikan pada Orasi Lingkungan “Selamatkan Indonesia”, pada 4 Juli 2008,  diselenggarakan KMPLHK RANITA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

sumber http://www.jatam.org/content/view/443/27/

Senin, 18 Februari 2013

Hasil Olimpiade VII KM-ITB 2012-2013

Dengan berakhirnya Closing Ceremony pada hari Sabtu lalu (9 Februari 2013) maka hal itu sekaligus menandakan telah berakhir pula seluruh rangkaian acara Olimpiade VII KM-ITB 2012-2013. Seluruh cabang pertandingan telah selesai digelar dan telah didapatkan pemenangnya masing-masing.

HMT-ITB kali ini mendapatkan 2 emas, 2 perak, dan 2 perunggu. 2 emas didapatkan dari cabang lari estafet putri 4x100m putri dan badminton tunggal putra. 2 perak didapatkan dari cabang badminton ganda putra dan catur tunggal putra. 2 perunggu didapatkan dari cabang badminton ganda campuran dan tenis ganda putra.

Selamat! Semoga ke depannya HMT-ITB dapat meningkatkan prestasinya.
Siapa kita?? HMT HMT HMT!!!

Selasa, 05 Februari 2013

Buntut Nasionalisasi Asing, Argentina Kena Sanksi IMF?


Suryana Miharja
Suryana@majalahtambang.com
TAMBANG, 03 Februari 2013 | 05.34

Argentina tengah dikecam oleh IMF, negara itu pun menjadi negara pertama yang mendapat kecaman dari IMF akibat data inflasi dalam laporan ekonomi yang dibuat dinilai kurang memadai. kecaman itu disampaikan hari ini (2/2) oleh 24 anggota dewan direksi IMF.

Dewan direksi IMF meminta Argentina untuk menyelesaikan data laporan ekonomi tersebut paling lambat pada tanggal 29 September 2013, namun Managing Director Christine Lagarde menginginkan Argentina bisa menyelesaikannya menjelang 13 November 2013. Jika Argentina tidak memenuhi keinginan dewan maka negara itu bisa mendapatkan “kartu kuning”.

Menanggapi tudingan Lagarde, menteri ekonomi Argentina dalam keterangan tertulisnya menyatakan, kecaman IMF atas negaranya tidak berdasar. Menurutnya, Argentina akan mulai menggunakan CPI (consumer price index) pada kuartal keempat tahun ini setelah menyelesaikan survei mengenai konsumsi yang dilaksanakan sejak bulan maret tahun lalu.

Sebelumnya pada tahun 2010, Presiden Cristina Fernandez de Kirchner menyatakan, Argentina akan membuat CPI untuk menggambarkan perilaku konsumsi negaranya.

akibat kecaman itu, Argentina telah diblok untuk bisa memperoleh pinjaman dari pasar internasional, yang diperlukan untuk membayar hutangnya sebesar US$ 95 miliar. Padahal negara dengan ekonomi terbesar kedua di Amerika Selatan tersebut tengah memerlukan investasi baru guna membiayai produksi minyak YPF SA yang meningkat.

Yacimientos Petrolíferos Fiscales (YPF) SA adalah perusahaan milik Repsol Spanyol yang dinasionalisasi oleh Argentina pada bulan April 2012 lalu. Melalui sebuah rancangan undang-undang tentang nasionalisasi, pemerintah pusat dan daerah Argentina mengambil alih 51% saham YPF yang saat dikuasai Repsol. Hal ini dilakukan untuk mengamankan hasil migas negara itu bagi kepentingan nasionalnya. Dari 51% yang dikuasai Argentina, sekitar 49% akan didistribusikan ke setiap provinsi melalui Organisasi Federal Produsen Minyak Negara.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Faisal Yusra, Argentina dan Indonesia adalah negara yang sama-sama mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 lalu, dan keduanya juga sama-sama dibantu oleh International Monetery Fund (IMF) dalam memulihkan krisis ekonomi yang terjadi. Bedanya, Argentina berani melakukan nasionalisasi perusahaan migas yang ada dinegaranya, sementara Indonesia tidak.

Faisal Yusra juga menyatakan, dari total produksi minyak Indonesia sebesar 900 ribu barrel per hari, sebanyak 300 ribu barrel dipastikan menjadi jatah asing, 150 ribu barrel milik Pertamina dan 450 ribu barel jatah pemerintah.

Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya yang sangat strategis bagi kehidupan bangsa sehingga berdasarkan undang-undang harus dikuasai sepenuhnya oleh negara. “Indonesia adalah negara paling liberal di dunia untuk urusan migas,” pungkasnya. Lalu beranikan Indonesia menasionalisasi perusahaan migas asing?

Senin, 04 Februari 2013

OSD HMT-ITB sang artis ibu kota


Setelah menjadi juara sebagai band terfavorit dalam ajang Atap Rumah Bangsa (The Radio Show) dan tampil beberapa kali di televisi, apa lagi yang akan OSD capai?
Stay tune on OSD ;)